Saturday, February 26, 2011

KIK, MAU DIBAWA KEMANA?


Bukan sembarang universitas ini diberi nama Gadjah Mada. Nama ini dipilih karena tekad Mahapatih Gadjah Mada untuk menyatukan nusantara. Itulah filosofi pendirian UGM. Untuk menghapus sekat-sekat wilayah dan mendidik anak bangsa Indonesia siapapun itu selama dia hendak belajar maka dia boleh datang, sesuai dengan kata-kata Soekarno dalam pidatonya ketika UGM didirikan. Kampus ini milik rakyat Indonesia, itulah mengapa kampus ini dikenal dengan julukan Universitas Kerakyatan. Karena kampus ini didirikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan hendaknya kerakyatan tidak dimaknai dengan sekedar romantisme masa lalu karena kerakyatan harus selalu menjadi jiwa UGM dulu, kini, dan nanti.

Tetapi kondisi kekinian berkata lain, visi UGM untuk menjadi universitas penelitian bertaraf Internasional memaksa UGM untuk membuat kebijakan-kebijakan yang beberapa di antaranya tidak berorientasi kepada rakyat. Tuntutan untuk membangun suasana yang nyaman untuk belajar (diistilahkan sebagai educopolis oleh UGM) melahirkan adanya penataan dengan menggunakan satu dan lain instrumen, diantaranya diberlakukannya Kartu Identitas Kendaraan (KIK). Kemunculan KIK menimbulkan sejumlah polemik di kalangan civitas akademika maupun masyarakat sekitar. Pemberlakuan KIK dirasa membatasi akses kepada masyarakat dan berkesan sebagai usaha untuk melakukan komersialisasi kampus karena kebijakan tersebut mengharuskan mitra, civitas akademika, serta masyarakat sekitar yang tidak memiliki KIK untuk membayar (Rp. 1000,- untuk motor dan Rp. 2000,- untuk mobil).

Visi UGM yang dituangkan dalam kebijakan KIK tersebut dapat dikatakan mencederai tujuan didirikannya UGM oleh founding fathers dahulu. UGM sengaja diletakkan di tengah-tengah masyarakat dengan harapan agar UGM dekat dengan masyarakat dan oleh karenanya pembatasan akses masyarakat untuk melewati UGM tidak dapat diterima. Apalagi apabila alasan yang digunakan adalah alasan-alasan yang masih dipertanyakan kebenarannya mulai dari segi keamanan hingga dari segi ekologis. Instrumen berbayar yang diterapkan dalam kebijakan KIK dapat dikatakan tidak memiliki relevansi dengan masalah keamanan ataupun lingkungan. Karena hasil riset lapangan yang dilakukan beberapa mahasiswa mengatakan sebaliknya. Dengan adanya kendaraan yang berlalu lalang keadaan menjadi lebih ramai dan tentunya aman bagi beberapa mahasiswa yang berjalan kaki ataupun mengendarai sepeda.

Yang menjadi masalah berikutnya setelah pembatasan akses masyarakat adalah transparansi pemasukan dan pengeluaran uang disinsentif yang diperoleh. Sejak 1 Februari 2011 kebijakan disinsentif sudah diberlakukan bagi masyarakat umum, apabila menggunakan penghitungan kasar bahwa rata-rata arus kendaraan yang lewat per hari sebanyak 8.000 kendaraan dengan asumsi semua kendaraan membayar Rp. 1.000,- maka pemasukan dalam satu hari adalah Rp. 8.000.000,- dan setelah pemberlakuan selama 24 hari maka pemasukan yang diperoleh lebih kurang sebanyak Rp. 192.000.000,-. Begitu banyak uang yang masuk tetapi tidak ada transparansi dan kejelasan mengenai penggunaan uang tersebut. Tentunya hal itu tidak dapat dibiarkan karena dapat memberikan peluang untuk terjadinya korupsi.

Masalah lainnya terjadi dalam pembuatan kebijakan. Sebagai sebuah lembaga yang besar dan bersinggungan dengan banyak pihak sudah seharusnya dalam pembuatan kebijakan publik, UGM mengikutsertakan civitas akademika dan pihak terkait lainnya dalam formulasi sehingga nantinya apabila sudah dalam tahap eksekusi tidak akan ada pertentangan yang timbul. Selain itu, wewenang UGM dalam membuat kebijakan ini pun dipertanyakan, apakah memang UGM memiliki wewenang untuk menarik uang dari masyarakat karena pada kenyataannya tidak ada peraturan yang lebih tinggi yang memberikan kewenangan bagi UGM untuk menarik pungutan.

Lantas bagaimanakah dengan kebijakan KIK ke depan? UGM sebagai universitas yang mendaku kerakyatan seharusnya memiliki pendirian untuk selalu dekat dengan rakyat dan tidak membatasi kedekatan maupun akses masyarakat. Karena sifat-sifat kerakyatan harus selalu dimiliki dan diimplementasi oleh UGM dan bukan hanya sekedar didaku tanpa ada tindakan nyata yang dilakukan.

Pic diambil dari http://www.harianjogja.com/img/gallery/20100830144544_JEPRET_DEMO_UGM.jpg