Monday, November 29, 2010

Teruntuk para sahabat yang membersamai dalam perjuangan, yang meyakini sebuah perubahan...

PESAN

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

Soe Hok Gie (dimuat dalam Sinar Harapan 18 Agustus 1973)

P.S : Sahabat, terimakasih untuk kebersamaan dalam masa-masa yang begitu berat dan sulit. Perjuangan yang kita lakukan belum selesai, belum apa-apa. tetapi yakinlah bahwa perjuangan ini semua akan membuahkan hasil dan tidak akan ada yang sia-sia selama perjuangan kita tulus dan ikhlas untuk mengatasi permasalahan di negeri ini, negeri cinta kita bersama. Ingatlah selalu bahwa jika kita bukan bagian dari penyelesaian, maka kita adalah bagian dari persoalan dan bahwa keberpihakan adalah keniscayaan. Perjuangan kita bukan tanpa pengorbanan, bukan tanpa kesulitan. Tetapi kita harus tetap berjuang karena pengorbanan dan kesulitan itulah sarana kita untuk berproses, untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. PB Sudirman pernah berkata, "Jgn bimbang menghadapi bermacam-macam penderitaan. Karena makin dekat cita-cita kita tercapai makin berat penderitaan yang harus kita alami."
VIVA JUSTICIA!

Thursday, November 25, 2010

PRESS RELEASE : SEMINAR NASIONAL ANTI KORUPSI, PERSEMBAHAN FH UGM UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Yogyakarta – Dalam rangka bulan anti korupsi yang bertajuk “JUSTISIA (Junjung Tinggi Pemberantasan Korupsi di Indonesia)”, Dema Justicia FH UGM bekerjasama dengan KPK telah mengadakan serangkaian acara sepanjang akhir Oktober hingga November 2010. Diawali dengan lomba mewarnai kaos anti korupsi yang dilaksanakan pada 30 Oktober 2010 di Taman Budaya Yogyakarta dan dihadiri oleh sejumlah siswa sekolah dasar di Yogyakarta ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan pendidikan anti korupsi sejak dini. Selanjutnya yang juga menjadi rangkaian bulan anti korupsi adalah acara melukis celengan oleh para perupa muda dari sekolah seni di Yogyakarta pada tanggal 13 November 2010 yang diadakan juga di Taman Budaya Yogyakarta. Celengan yang telah dilukis tersebut selain untuk mengingatkan warga akan bahaya korupsi juga bertujuan untuk menggalang dana solidaritas bagi korban merapi. Kemudian Dema Justicia FH UGM juga mengadakan diskusi publik sebagai pemantik untuk menuju acara puncak rangkaian JUSTISIA dengan menghadirkan pembicara yang kompeten pada bidangnya yaitu seorang anggota komisi D DPRD DIY dan perwakilan dari DIKPORA (Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga) pada tanggal 19 November 2010 di Ruang Multimedia FH UGM.

Rangkaian acara JUSTISIA akan mencapai puncaknya pada acara seminar nasional bertajuk “Peran Korupsi Terhadap Dehumanisasi Pendidikan di Masa Kontemporer”. Seminar ini akan diadakan pada Minggu, 28 November 2010 pukul 08.00 sampai dengan selesai di Auditorium Magister Manajemen UGM. Pelaksanaan seminar ini didasari oleh keprihatinan akan adanya korupsi yang juga merambah di bidang pendidikan padahal seperti yang diketahui, pendidikan adalah salah satu hal yang paling penting dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti diatur dalam Pasal 31 UUD 1945 dimana pendidikan merupakan hak seluruh warga negara dan negara mempunyai kewajiban untuk memberikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Tetapi pada faktanya yang justru terjadi adalah berbagai penyimpangan dalam pengelolaan administrasi keuangan dalam lingkungan institusi pendidikan. Modus yang dilakukan beragam, mulai dari mark-up anggaran hingga penyelewengan berbagai dana sekolah seperti BOS, DAK, sumbangan pendidikan, dan dana lainnya.

Menurut Herman Abdurrahman selaku Ketua Panitia rangkaian acara JUSTISIA, hal tersebut terjadi karena korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan dan kejahatan terjadi karena ada kesempatan dan niat dari pelakunya bertemu berakumulasi menjadi suatu bentuk kejahatan, adanya niat dari para pendidik dan atau penyelenggara pendidikan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih yang bukan menjadi haknya didukung pula dengan adanya kesempatan berupa lemahnya kontrol pemerintah, aparat penegak hukum yang bermental koruptif serta produk-produk hukum yang buruk yang dihasilkan oleh para pembuat legislasi bangsa ini.

Oleh karena itu dibutuhkan adanya kesadaran di seluruh lapisan masyarakat akan pentingnya memahami dan mengawal korupsi pendidikan sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan yang harus dilawan bersama dan salah satu caranya adalah dengan meningkatkan pemahaman melalui seminar nasional “Peran Korupsi Terhadap Dehumanisasi Pendidikan di Masa Kontemporer”, persembahan FH UGM untuk pemberantasan korupsi pendidikan Indonesia. Demi Indonesia yang lebih baik untuk semua.

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Herman Abdurrahman : 08563666123
Hurrin Nur Izzah : 087838282022

Monday, November 22, 2010

Anti Korupsi dan Anti Mafia Peradilan


Makin korup suatu negara makin banyak hukumnya (Taticus)

Korupsi menyebar secara merata di wilayah negara ini mulai dari Aceh hingga Papua, dari provinsi paling barat hingga di ujung satunya. Dari sejarah panjang negara ini, tidak pernah disebutkan bahwa korupsi memberikan kesejahteraan rakyat ataupun mensukseskan pembangunan. Korupsi selalu menjadi kejahatan kemanusiaaan yang merenggut kesempatan hidup orang banyak dan memperkaya si koruptor pada sisi lain. Sangat kontras melihat orang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dimiliki dan menginjak hak orang lain. Hal itulah yang menyebabkan si kaya makin kaya dan si miskin menjadi begitu miskinnya sehingga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya. Korupsi adalah perilaku pejabat publik, politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka .

Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 seseorang dapat dikatakan melakukan korupsi apabila berusaha menguntungkan diri yang menyebabkan kerugian negara dengan suap menyuap, menyalahgunakan jabatan, memeras, berbuat curang, pengadaan barang, ataupun gratifikasi. Setelah dikeluarkannya UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001, telah muncul banyak sekali produk hukum yang dikatakan sebagai usaha pemberantasan korupsi. Mulai dari berbagai inpres, pp, hingga puncaknya sebuah undang-undang yang mengukuhkan eksistensi lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi yang dikenal sebagai KPK dan disusul dengan UU Pengadilan Tipikor. Dengan produk hukum yang sedemikian banyaknya pun pemberantasan korupsi belum mencapai kemajuan yang diharapkan mengingat masih banyak hambatan-hambatan yang ditemui mulai dari makin menjamurnya para pejabat publik korup dalam tubuh eksekutif dan legislatif, kepentingan-kepentingan yang termuat dalam lembar demi lembar kertas dan kemudian terlegitimasi menjadi sebuah produk hukum, hingga munculnya penyakit kronis dalam tubuh institusi penegakan hukum yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan korupsi. Penyakit yang merupakan sebuah modus mutakhir dalam melakukan korupsi sekaligus mematikan pemberantasan korupsi inilah yang diketahui bernama mafia peradilan.

Istilah mafia peradilan yang mulai dikenal luas sejak kasus suap Artalyta-Jaksa Urip sesungguhnya telah muncul dalam sebuah Pelatihan Anti Mafia Peradilan pada tahun 1970-an. Mafia peradilan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang memengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusa rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan . Lebih mudahnya dapat dikatakan bahwa mafia peradilan merupakan praktik korupsi di lingkungan peradilan atau di lingkungan penegakan hukum secara lebih luasnya. Praktik mafia peradilan ini seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menyelamatkan para pelaku korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dari seringnya terjadi disparitas yang cukup jauh antara tuntutan JPU dengan putusan yang akhirnya diberikan oleh hakim dalam kasus korupsi. Dalam hal ini terlihat jelas hubungan yang begitu dekat dan simbiosis antara korupsi dengan mafia peradilan. Seorang mafia peradilan melakukan penyalahgunaan wewenang dengan menyelamatkan koruptor, dan koruptor tersebut pun melakukan korupsi (lagi) dengan menyuap penegak hukum agar terbebas dari dakwaan korupsi. Sungguh sebuah lingkaran setan yang tiada habisnya, terus berputar dan berputar di situ-situ saja. Tidak dapat dinafikan bahwa korupsi tidak akan dapat diberantas hingga akar-akarnya selama proses penegakan hukum masih memiliki mental anda jual saya beli yang terwujud dalam praktik mafia peradilan mengingat begitu kuatnya terjalin hubungan antara keduanya. Karena itu dibutuhkan komitmen yang begitu kuat dari berbagai elemen yang ada mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga penegak hukum dalam membangun suatu proses penegakan hukum yang berlandaskan pada keadilan demi tercapainya cita-cita pemberantasan korupsi yang selalu digaungkan sebagai agenda wajib pasca reformasi.

Perlunya pendidikan anti korupsi bagi mahasiswa FH agar pemahaman dan kekritisan yang dimiliki mahasiswa FH memiliki dasar keilmuan yang jelas. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya memiliki dasar yang kuat dan tidak berdasarkan asumsi belaka. Selain itu mahasiswa fakultas hukum sebagai calon penegak hukum di kemudian hari harus dapat memahami bahwa praktik korupsi dan mafia peradilan bukanlah sebuah budaya bangsa yang harus dilestarikan melainkan penyakit-penyakit kronis yang harus disembuhkan sampai ke akar-akarnya demi tercapainya cita-cita penegakan hukum yang berdasarkan pada keadilan.

VIVA JUSTICIA!

Sunday, November 21, 2010

Advokasi dalam Civil Society


Webster’s new Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan . Dalam hal itu advokasi dilakukan untuk membela kepentingan masyarakat tertindas oleh individu, kelompok, LSM, dan organisasi yang mempunyai kepedulian akan masalah HAM, lingkungan, kemiskinan, dan berbagai bentuk ketidakadilan.

Selain itu, advokasi juga dapat dikatakan sebagai sebuah proses untuk melakukan perubahan secara terorganisir dan sistematis. Advokasi dilakukan berangkat dari pemahaman dan keyakinan para penggiatnya bahwa ketidakadilan yang menimpa kelompok tertindas tersebut disebabkan oleh tatanan kekuasaan yang timpang dan tidak demokratis sehingga meminggirkan partisipasi kelompok akar rumput dalam pembentukan kebijakan.

Advokasi dimaksudkan untuk melakukan transformasi sosial dengan mewujudkan tatanan kekuasaan yang seimbang dan demokratis serta mengikutsertakan dan membuka akses kelompok akar rumput dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kebijakan yang berakibat langsung kepada kehidupan mereka.

Advokasi bukanlah revolusi melainkan sebuah usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya transformasi sosial melalui berbagai saluran yang tersedia. Advokasi yang dilakukan oleh LSM merupakan upaya untuk meningkatkan bargaining position masyarakat tertindas. Dalam hal ini kegiatan advokasi yang dilakukan meliputi pendidikan dan penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat tertindas, pemberian bantuan hukum yang menitikberatkan pada proses litigasi dengan melakukan pembelaan hak-hak masyarakat tertindas di muka pengadilan, lobi politik yang dilakukan ke basis pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan, hingga mobilisasi massa dengan melakukan aksi ataupun demonstrasi untuk mendesakkan kepentingan yang diusung dalam aksi massa tersebut.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dari pasal tersebut dapat kita simpulkan bahwa advokasi yang dilakukan oleh LSM ataupun organisasi lainnya, yang merupakan pembelaan hak dan kepentingan rakyat pada hakikatnya merupakan hal yang sah. Proses advokasi dapat dikatakan sebuah usaha untuk menggugat kedudukan masyarakat tertindas dalam hukum dan pemerintahan yang seharusnya setara. Sebab yang biasa diperjuangkan melalui advokasi adalah keentingan kelompok masyarakat tertindas yang umumnya merupakan mayoritas dalam negara. Mayoritas kelompok masyarakat miskin dan tertindas ini, yang seharusnya diperhatikan kepentingan dan aspirasinya malah seringkali dipinggirkan oleh penguasa. Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah jauh lebih sering mengakomodir kepentingan politik dan ekonomi orang ataupun kelompok tertentu yang mengakibatkan kebijakan yang dibuat tidak pro rakyat dan mengabaikan kepentingan rakyat miskin tertindas. Disinilah peran LSM dalam melakukan advokasi untuk menuntut adanya pertanggungjawaban negara dalam segala sektor kehidupan masyarakat demi tercapainya tujuan negara sebagai Welfare State. Dan untuk melakukan hal tersebut, diperlukan adanya free public sphere yang menjamin kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berkumpul serta berorganisasi.

LSM yang memusatkan perhatian pada masalah kemiskinan, pendidikan, pembangunan berkelanjutan, hak-hak demokrasi, dan hal-hal menyangkut ketidakadilan lainnya melihat bahwa pemerintah sering membuat kebijakan yang menghambat serta membatasi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang memadai, upah yang cukup, hingga lingkungan dan kehidupan yang baik. Oleh karena itu LSM merasa perlu untuk meletakkan advokasi dan merubah kebijakan sebagai agenda mendesak yang perlu dilakukan karena perubahan yang ingin dicapai akan sulit diraih ketika terbentur dengan kebijakan yang menghambat.

Upaya advokasi suatu kebijakan tidak hanya memperluas ruang demokrasi dengan partisipasi aktif masyarakat melainkan juga untuk memperkuat civil society. Ketika advokasi yang dilakukan memajukan tingkat partisipasi aktif masyarakat maka akan terbentuk beberapa perubahan di berbagai dimensi, mulai dari kemampuan mempengaruhi kebijakan, memajukan demokrasi, hingga menyeimbangkan kekuasaan sehingga tidak terpusat dan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat miskin.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tentu harus melalui beberapa tahap pembuatan. Proses pembuatan kebijakan publik merupakan sesuatu yang kompleks karena melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu para ahli membagi proses penyusunan kebijakan publik menjadi beberapa tahap, yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, hingga evaluasi kebijakan . Pada tahap penyusunan agenda, pembentuk kebijakan memilah masalah untuk dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Tahap selanjutnya alternatif kebijakan sebagai pemecahan mengenai permasalahan yang telah dibahas selanjutnya diformulasikan dan disusun. Kemudian pada tahap adopsi, alternatif tersebut ditawarkan kepada badan terkait untuk kemudian diadopsi atau diloloskan salah satunya. Di tahap implementasi kebijakan diterapkan dan ditegakkan. Terakhir tahap evaluasi, kebijakan yang telah dijalankan dinilai apakah sudah memperoleh dampak yang diinginkan atau belum.

Hal terbaik terjadi ketika LSM dapat mengintervensi setiap proses kebijakan tersebut dan memasukkan kepentingan kelompok akar rumput yang dibawanya sejak awal . Tetapi pada hal tertentu dimana proses tersebut tertutup atau rahasia, aksesnya tertutup, dan tidak memungkinkan dilakukan intervensi maka proses advokasi yang dilakukan oleh LSM akan menjadi sulit.

Strategi yang sering digunakan oleh LSM diantaranya adalah kerjasama, pendidikan, persuasi, litigasi, dan kontestasi . Dalam strategi kerjasama LSM bekerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki layanan negara. Lalu strategi pendidikan dimana LSM melakukan penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat serta memberi informasi, analisis, dan kebijakan alternatif. Strategi persuasi yang menggunakan informasi, analisis, dan mobilisasi massa untuk mendesakkan perubahan. Litigasi yang mengusahakan perubahan melalui jalur peradilan. Dan terakhir kontestasi yang menarik garis keras dan menggunakan protes untuk menunjukkan dampak negatif kebijakan dan menggunakan pressure untuk perubahan.

Dan akhirnya ketika advokasi telah dilakukan maka LSM harus melakukan evaluasi dampak advokasi. Evaluasi dilakukan sepenuhnya berdasarkan prestasi kecil maupun besar yang didapatkan. Sukses dalam advokasi meliputi tiga dimensi, yaitu pada tingkat kebijakan, pada tingkat civil society, dan pada tingkat demokrasi . Pada tingkat kebijakan suatu proses advokasi dapat dikatakan berhasil ketika terjadi perubahan kebijakan yang dikehendaki. Pada tingkat civil society dikatakan berhasil ketika advokasi yang dilakukan memperkuat LSM dan kelompok akar rumput sehingga terbangun hubungan kekuasaan yang lebih demokratis di masyarakat dimana lembaga publik dan sektor swasta yang ada lebih bertanggungjawab. Pada tingkat demokrasi, advokasi dikatakan berhasil ketika meningkatkan free public sphere bagi LSM dan pilar penegak civil society lainnya untuk memperjuangkan aspirasi tanpa ada pembatasan.

Perlu diingat bahwa advokasi hanyalah upaya untuk memfasilitasi kepentingan rakyat tertindas dan bukanlah upaya mengerjakan semua kepentingan mereka karena hal jelek yang terjadi selama ini adalah penggiat advokasi dan organisasinya lah yang menjadi bintang atau pahlawan rakyat. Satu kunci keberhasilan proses advokasi adalah memfasilitasi rakyat tertindas sampai mereka akhirnya memiliki pemahaman dan pandangan sendiri mengenai keadaan dan masalah mereka. Advokasi yang dilakukan oleh LSM harus mempertimbangkan keikutsertaan masyarakat dalam proses tersebut sehingga esensi advokasi untuk “Menyuarakan suara mereka yang tidak dapat bersuara dan membuat mereka menjadi bersuara.” dapat terpenuhi. Karena sesungguhnya proses advokasi yang dijalankan harus mampu memberikan efek jangka panjang berupa kekuatan bagi para masyarakat tertindas untuk membela dan memperjuangkan haknya sendiri.