Monday, November 22, 2010

Anti Korupsi dan Anti Mafia Peradilan


Makin korup suatu negara makin banyak hukumnya (Taticus)

Korupsi menyebar secara merata di wilayah negara ini mulai dari Aceh hingga Papua, dari provinsi paling barat hingga di ujung satunya. Dari sejarah panjang negara ini, tidak pernah disebutkan bahwa korupsi memberikan kesejahteraan rakyat ataupun mensukseskan pembangunan. Korupsi selalu menjadi kejahatan kemanusiaaan yang merenggut kesempatan hidup orang banyak dan memperkaya si koruptor pada sisi lain. Sangat kontras melihat orang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dimiliki dan menginjak hak orang lain. Hal itulah yang menyebabkan si kaya makin kaya dan si miskin menjadi begitu miskinnya sehingga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya. Korupsi adalah perilaku pejabat publik, politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka .

Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 seseorang dapat dikatakan melakukan korupsi apabila berusaha menguntungkan diri yang menyebabkan kerugian negara dengan suap menyuap, menyalahgunakan jabatan, memeras, berbuat curang, pengadaan barang, ataupun gratifikasi. Setelah dikeluarkannya UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001, telah muncul banyak sekali produk hukum yang dikatakan sebagai usaha pemberantasan korupsi. Mulai dari berbagai inpres, pp, hingga puncaknya sebuah undang-undang yang mengukuhkan eksistensi lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi yang dikenal sebagai KPK dan disusul dengan UU Pengadilan Tipikor. Dengan produk hukum yang sedemikian banyaknya pun pemberantasan korupsi belum mencapai kemajuan yang diharapkan mengingat masih banyak hambatan-hambatan yang ditemui mulai dari makin menjamurnya para pejabat publik korup dalam tubuh eksekutif dan legislatif, kepentingan-kepentingan yang termuat dalam lembar demi lembar kertas dan kemudian terlegitimasi menjadi sebuah produk hukum, hingga munculnya penyakit kronis dalam tubuh institusi penegakan hukum yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan korupsi. Penyakit yang merupakan sebuah modus mutakhir dalam melakukan korupsi sekaligus mematikan pemberantasan korupsi inilah yang diketahui bernama mafia peradilan.

Istilah mafia peradilan yang mulai dikenal luas sejak kasus suap Artalyta-Jaksa Urip sesungguhnya telah muncul dalam sebuah Pelatihan Anti Mafia Peradilan pada tahun 1970-an. Mafia peradilan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang memengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusa rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan . Lebih mudahnya dapat dikatakan bahwa mafia peradilan merupakan praktik korupsi di lingkungan peradilan atau di lingkungan penegakan hukum secara lebih luasnya. Praktik mafia peradilan ini seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menyelamatkan para pelaku korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dari seringnya terjadi disparitas yang cukup jauh antara tuntutan JPU dengan putusan yang akhirnya diberikan oleh hakim dalam kasus korupsi. Dalam hal ini terlihat jelas hubungan yang begitu dekat dan simbiosis antara korupsi dengan mafia peradilan. Seorang mafia peradilan melakukan penyalahgunaan wewenang dengan menyelamatkan koruptor, dan koruptor tersebut pun melakukan korupsi (lagi) dengan menyuap penegak hukum agar terbebas dari dakwaan korupsi. Sungguh sebuah lingkaran setan yang tiada habisnya, terus berputar dan berputar di situ-situ saja. Tidak dapat dinafikan bahwa korupsi tidak akan dapat diberantas hingga akar-akarnya selama proses penegakan hukum masih memiliki mental anda jual saya beli yang terwujud dalam praktik mafia peradilan mengingat begitu kuatnya terjalin hubungan antara keduanya. Karena itu dibutuhkan komitmen yang begitu kuat dari berbagai elemen yang ada mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga penegak hukum dalam membangun suatu proses penegakan hukum yang berlandaskan pada keadilan demi tercapainya cita-cita pemberantasan korupsi yang selalu digaungkan sebagai agenda wajib pasca reformasi.

Perlunya pendidikan anti korupsi bagi mahasiswa FH agar pemahaman dan kekritisan yang dimiliki mahasiswa FH memiliki dasar keilmuan yang jelas. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya memiliki dasar yang kuat dan tidak berdasarkan asumsi belaka. Selain itu mahasiswa fakultas hukum sebagai calon penegak hukum di kemudian hari harus dapat memahami bahwa praktik korupsi dan mafia peradilan bukanlah sebuah budaya bangsa yang harus dilestarikan melainkan penyakit-penyakit kronis yang harus disembuhkan sampai ke akar-akarnya demi tercapainya cita-cita penegakan hukum yang berdasarkan pada keadilan.

VIVA JUSTICIA!

No comments:

Post a Comment