Monday, December 10, 2012

DIFFERENTIAL ASSOCIATION YANG TELAH DIALAMI OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME


Kriminologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.[1]

            Wolfgang, Savitz, dan Johnston dalam The Sociology of Crime and Deliquency memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Jadi obyek studi kriminologi melingkupi:
  1. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan
  2. Pelaku kejahatan dan
  3. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya[2]
Melihat dari pengertian dan obyek dari kriminologi maka dapat dilihat bahwa kriminologi memiliki hubungan yang sangat erat dengan hukum pidana. Jika hukum pidana menurut Hezewinkel Suringa mengandung larangan dan ancaman pidana (jus poenale) serta hak negara untuk menuntut, menjatuhkan,dan melaksanakan pidana (jus puniendi). Maka disisi lain kriminologi dapat digunakan untuk mempelajari siapa dan kenapa seseorang melakukan perbuatan pidana sehingga dapat dikenai ancaman pidana.
Salah satu teori yang ada dalam kriminologi diantaranya adalah Differential Association Theory yang dikemukakan oleh Sutherland. Teori ini sendiri mendasarkan pada konsep Differential Social organization yang mengemukakan bahwa kelompok-kelompok sosial tertata secara berbeda, beberapa terorganisasi dalam mendukung aktivitas kriminal dan yang lain terorganisasi melawan aktivitas kriminal. Menurut Sutherland perilaku jahat itu dipelajari melalui pergaulan yang dekat dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang merupakan proses differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap orang mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok yang terorganisasi dalam melakukan aktivitas kriminal atau dengan kelompok yang melawan aktivitas kriminal. Dan dalam kontak yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses belajar yang meliputi teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi melakukan suatu kejahatan.
Ada sembilan dalil yang merupakan dasar dari differential association, yaitu :
1)      Criminal behavior is learned
2)  Criminal behavior is learned in Interaction with other person in a proccess of communication
3)      The principal part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups
4)      When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes
5)    The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable or unfavorable
6)      A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorble to violation of law
7)      Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity
8)    The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning
9)   While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values[3]

Tindak pidana terorisme menurut pasal 6 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.  Terorisme sendiri telah menjadi masalah serius bagi masyarakat Indonesia sejak terjadinya Bom Bali pertama pada November 2002. Dengan makin meluasnya jaringan operasi yang serius, radikalisme, dan militansi hingga hari ini terorisme masih menjadi momok. Dalam kaitannya dengan Differential association, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang pelaku tindak pidana terorisme melewati proses belajar yang membentuk ideologi dan menjadikannya sebuah rasionalisasi dalam melakukan terorisme. Seringkali ideologisasi tersebut terjadi dalam proses pemasyarakatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sehingga Lapas menjadi School of Radicalism. Ketika kita berbicara mengenai tindak pidana terorisme maka kita akan berbicara mengenai sebuah tindak pidana dengan karakteristik yang berbeda dimana perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepahaman mengenai tindak pidana yang dilakukan serta mengandung adanya ideologi yang menyimpang. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang berbeda bagi narapidana terorisme demi tercapainya salah satu tujuan pemidanaan yaitu memasyarakatkan narapidana sehingga dapat kembali diterima oleh masyarakat dan tidak mengulangi kembali perbuatannya (residivis).
Sebelum tahun 2008 di LP Cipinang ada hak-hak istimewa yang diberikan kepada para narapidana terorisme diantaranya kemudahan mendapatkan kunjungan, kebebasan untuk mendapatkan makanan, bahan bacaan berupa kitab-kitab dan buku-buku bertema jihad, serta kesempatan untuk memiliki handphone bagi hampir semua narapidana teroris. Bahkan narapidana terorisme diberikan kesempatan untuk membentuk semacam pesantren di lingkungan masjid di dalam LP dimana Abu Tholut, seorang residivis yang terkenal karena berkali-kali melakukan pengulangan Tindak Pidana terorisme pernah menjadi kepala sekolahnya. Dan disinilah proses Differential Association terjadi. Pesantren ini pernah memiliki murid sebanyak 300 orang narapidana biasa (non-terorisme). Tanpa disadari lapas menjadi sebuah lahan recruitment oleh jaringan teroris ketika itu. Dan hal ini sesuai dengan dalil dalam teori differential association tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi, jadi tidak serta merta seseorang yang hidup dalam lingkungan kriminal menjadi kriminal tetapi juga dipelajari bersama orang lain dalam komunikasi verbal maupun non verbal.
Selain itu, tingkah laku kriminal biasa dipelajari dalam kelompok orang-orang dekat seperti keluarga ataupun teman dekat, ddan diketahui bersama banyak dari jaringan terorisme yang terbentuk dari lingkaran keluarga ataupun teman dekat, dimana komunikasi yang intensif berperan besar dalam ideologisasi para pelaku tindak pidana terorisme. Albert Reiss dan A. Lewis menemukan bahwa kesempatan melakukan perbuatan delinquent tergantung pada apakah temannya melakukan hal yang sama.
Tingkat differential association sendiri dipengaruhi oleh intensitas kontak, lamanya, dan makna dari proses tersebut kepada suatu individu. Dalam konteks school of radicalism, seseorang dalam keadaan terkungkung dan kurang informasi mendapatkan pencerahan dari seseorang yang dilihat lebih mengerti kemudian melakukan komunikasi yang intens dan lama lebih mudah menerima ideologi yang menyimpang tersebut. Itulah kenapa lapas dapat dikatakan turut menyuburkan kaderisasi jaringan terorisme.
        Pelajaran yang didapat tentunya bukan hanya soal teknik melakukan tindak pidana tetapi juga rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap dan di point inilah ideologisasi terjadi. Sehingga berbeda dengan tindak pidana yg lain, untuk memasyarakatkan kembali pelakunya perlu adanya proses de-ideologisasi. Dimana de-ideologisasi tersebut dilakukan untuk membersihkan rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap yang membentuk ideologi si pelaku tindak pidana terorisme.

picture source : http://www.tribunnews.com/2012/07/13/naim-pengumpul-dana-jaringan-teroris-di-indonesia



[1] Topo Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008, Kriminologi, grafindo, jakarta Halaman 7
[2] Topo Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008, Kriminologi, grafindo, jakarta Halaman 12
[3] Topo Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008, Kriminologi, grafindo, jakarta Halaman 75


Sunday, November 4, 2012

Lomba Blog KPK

Ayo teman-teman tolong dibuka yah terus di rate sebanyak-banyaknya :) Viva Justicia!

link pada lomba blog KPK : http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/419/Azizah%20Amalia.html

OPTIMALISASI FUNGSI KORDINASI DAN SUPERVISI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)


Sebelum didirikannya KPK, Indonesia berada di titik nadir dalam pemberantasan korupsi. Korupsi terjadi di segala bidang, bahkan dilakukan oleh pejabat dan penegak hukum sehingga negara kita makin jauh dari tujuannya untuk memajukan kesejahteraan umum. Harus kita amini bersama bahwa didirikannya KPK membawa secercah asa bagi pemberantasan korupsi yang lebih optimal. KPK adalah sebuah lembaga independen yang didirikan sebagai trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi.  Oleh karena itu, KPK memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan daya guna dan memicu Polri dan Kejaksaan yang dinilai belum optimal dalam pemberantasan korupsi.

Maka jika saya menjadi seorang ketua KPK, saya akan memaksimalkan KPK sebagai trigger mechanism melalui optimalisasi fungsi kordinasi dan supervisi yang dimiliki KPK, dengan cara :
  1. Mengadakan rapat berkala antara KPK, Polri, dan Kejaksaan untuk membahas kasus-kasus yang sedang diperiksa di lembaga masing-masing agar dapat terjadi check and balances
  2. Mengawasi penyelesaian perkara yang tengah dilakukan yakni melalui audit kasus berkala sehingga tidak terjadi lagi adanya jumlah kasus yang berbeda antara jumlah di SPDP dengan jumlah yang sebenarnya.
  3. Mengoptimalkan dana yang dimiliki oleh KPK untuk melakukan percepatan penuntasan kasus di Kejaksaan dan Polri, baik untuk operasional penyelesaian perkara ataupun untuk memberikan pendidikan kepada anggota Polri ataupun Kejaksaan mengenai Tindak Pidana Korupsi secara lebih komprehensif.




Thursday, February 2, 2012

Kampusku Harus Cari Uang Sendiri???



     Pasca diberikannya status Badan Hukum Milik Negara atau BHMN kepada UGM melalui PP 153 tahun 2000, UGM memiliki otonomi dalam pola pengelolaan keuangan dengan memperhatikan efisiensi, efektivitas, produktivitas, otonomi, akuntabilitas, dan transparansi. Perlu diketahui bahwa pemberian status tersebut didasari oleh kemampuan UGM dalam pengelolaan sehingga dianggap sudah siap untuk memperoleh otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar. Pasal 46 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sementara dalam sebuah Perguruan Tinggi berstatus BHMN seperti UGM, otonomi yang diberikan mengharuskan pihak universitas juga menjadi salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam hal pendanaan sehingga UGM dituntut untuk menjadi lebih kreatif dalam mencari dana untuk pemenuhan kebutuhannya. Seperti tertuang dalam 42 ayat (1) PP 153 Tahun 2000, pembiayaan untuk penyelenggaraan, pengelolaan, dan pengembangan Universitas tidak hanya berasal dari pemerintah dan masyarakat melainkan juga dari hasil usaha dan tabungan universitas, serta pihak dari luar negeri. Yang perlu menjadi catatan adalah dalam pendanaan tersebut pemerintah kurang banyak berperan mengingat alokasi dana pendidikan hanya 20% dari APBN dan APBD, sementara jumlah badan penyelenggara pendidikan yang perlu disokong begitu banyak. Oleh karena itu mau tidak mau, pendanaan kebutuhan universitas harus dipenuhi melalui pencarian dana mandiri dengan dibantu pula oleh dana masyarakat.
   Dalam rangka mewujudkan kemandirian sebagai PT BHMN, UGM mendirikan sebuah perusahaan holding dan investasi berskala nasional yang bergerak di berbagai bidang yang dinamai Gama Multi Usaha Mandiri atau GMUM. Sampai hari ini GMUM memiliki 6 unit usaha dan 5 anak perusahaan. Menurut situs resminya perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas ini didirikan secara resmi berdasarkan akta Pendirian Nomor 54 tertanggal 24 Juni 2000, kemudian disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor C-1.333.HT.01.01.TH.2001 tertanggal 21 Februari 2001, dan telah dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 56 tertanggal 13 Juli 2001 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4519. Tetapi keberadaan GMUM kurang diketahui oleh khalayak ramai terutama mahasiswa dan masyarakat, padahal GMUM adalah pemegang peranan penting dalam berjalannya proses pendidikan di UGM karena GMUM membantu meningkatkan kualitas layanan pendidikan melalui kontribusi finansial maupun non finansial. Kurang diketahuinya keberadaan GMUM ini kemudian mengakibatkan suara-suara sumbang yang mempertanyakan sejauh mana usaha UGM dalam memenuhi kebutuhannya selain dengan menarik dana masyarakat melalui biaya pendidikan dan disinsentif KIK. Padahal mahasiswa sebagai salah satu pemangku kepentingan memiliki hak untuk mengetahui mengenai pengelolaan keuangan di UGM. Mahasiswa berhak tahu darimana uang masuk kemudian kemana uang keluar sesuai dengan prinsip pengelolan keuangan menurut PP 153 Tahun 2000 yang tidak hanya efisien, efektif, produktif, dan otonom, tetapi juga harus akuntabel dan transparan. Akuntabel disini mengisyaratkan adanya sebentuk komitmen dan kemampuan untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan. Sedangkan transparan yang dimaksud adalah keterbukaan dan kemampuan untuk menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu dan sesuai prosedur yang berlaku kepada pemangku kepentingan. Pengelolaan keuangan, sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan tentu saja memiliki peran yang strategis dalam berjalannya proses pendidikan di UGM. Apalagi sebagai PT BHMN UGM memiliki harta kekayaan yang terpisah dari negara dan dikelola sendiri. Oleh karena itu akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan adalah sebuah keniscayaan, semata-mata untuk memastikan tercapainya tujuan pendidikan nasional dan berjalannya proses check and balances antara pihak pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan.        
Yang menjadi masalah adalah apakah tujuan pendidikan nasional akan terwujud ketika sebuah universitas yang seharusnya berkonsentrasi dengan melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat malah terpecah konsentrasinya karena dibebani dengan masalah pendanaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara? Kemudian ketika negara melepas tanggung jawabnya sehingga universitas terpaksa menjalankan fungsi yang selayaknya dilakukan oleh badan usaha dan ketika universitas terpaksa harus membebankan biaya pendidikan yang tidak murah kepada masyarakat yang berimbas kepada sulitnya akses pendidikan tinggi bagi rakyat miskin demi memenuhi kebutuhannya, apakah kesalahan terletak murni pada pihak universitas? Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban dari GMUM dalam hal penerimaan dan pemasukkan anggaran? Dan terakhir, bagaimanakah nasib kekayaan yang dimiliki UGM khususnya yang berupa aset GMUM setelah dibatalkannya UU BHP dan diberlakukannya PP 17 tahun 2010 jo PP 66 tahun 2010 mengingat di PP yang baru tersebut kekayaan yang sudah dipisahkan harus dialihkan kembali kepada negara?

Monday, January 30, 2012

Pemuda, Jangan Hanya Bicara!


"Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena
fungsi hidupnya hanya beternak diri."
 -Pramoedya Ananta Toer-        
  
Sejarah menuliskan bahwa pemuda memiliki peran penting dalam membuat perubahan di seluruh dunia. Indonesia mengenal pemuda luar biasa angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan 1998. Pemuda 1908 membuat gebrakan dengan  membentuk organisasi pertama bernama Boedi Oetomo yang bergerak dalam bidang pendidikan, pemuda 1928 menyuarakan persatuan pemuda seluruh Indonesia lewat Sumpah Pemuda, pemuda 1945 mendorong terjadinya proklamasi sehingga kemerdekaan Indonesia dapat diperoleh dengan segera, Pemuda 1966 bersatu padu dalam usaha menjatuhkan Ir. Soekarno dari tampuk kekuasaannya, dan terakhir pemuda 1998 bersama dengan gerakan masyarakat lain menyatukan langkah dalam reformasi untuk menghancurkan rezim otoriter Orde Baru. Lantas, apa yang dilakukan oleh pemuda hari ini?
   Pemuda-pemuda Indonesia pada masa lampau telah menuliskan dengan tinta emas dalam sejarah masa ke masa bahwa mereka mampu untuk membuat perubahan. Melawan musuh bersama sekaligus berpihak kepada masyarakat.
Susan Rose-Ackerman dalam buku Corruption and Government: Causes, Consequences and Reform  menyatakan, contoh terbaik reformasi adalah ketika perubahan dasar yang dilakukan menciptakan penerima manfaat baru yang kemudian mendukung reformasi lebih lanjut. Sementara, contoh terburuk reformasi adalah ketika korupsi menjadi mengakar dan menyebar sejalan perjalanan waktu.
Pada kasus di Indonesia, pasca reformasi besar-besaran yang menuntut adanya demokrasi dan pengakuan terhadap HAM terjadi sebuah gelombang besar perubahan. Korupsi tidak lagi terpusat melainkan menyebar ke daerah dan ke berbagai bidang. Diberikannya otonomi pada daerah yang diharapkan membuat daerah mampu berkembang dan  memperbaiki diri nyatanya malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab sebagai celah untuk melakukan korupsi. Selain itu korupsi pada kondisi kekinian merajalela hingga bidang pendidikan bahkan kesehatan. Pendidikan kian mahal dan tidak terakses oleh masyarakat miskin. Sementara itu biaya kesehatan makin tinggi dan adanya jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Parahnya lagi, korupsi turut menghiasi dalam penanggulangan bencana alam. Bantuan-bantuan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat malah disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Dalam hal ini terjadi adanya kesenjangan tingkat tinggi. Yang miskin makin miskin dan tidak bisa melakukan mobilitas vertikal karena akses terhadap pendidikan dibatasi dan yang kaya makin kaya. Ironis bukan?
Oleh karena adanya segala penyimpangan dan kesenjangan yang terjadi itulah hari ini, hari dimana demokrasi dan HAM diagung-agungkan, sudah seharusnya pemuda pada konteks kekinian apalagi yang terpelajar memiliki tekad untuk bersama-sama bangkit melawan korupsi yang merupakan musuh bersama seluruh rakyat Indonesia dan membuat perubahan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tentunya bukanlah hal yang instan dan dapat dibuat hanya dalam semalam. Perubahan tidak akan tercapai hanya dengan sekedar kritik cela kepada pemerintah. Pemuda harus berani bergerak dalam  kapasitasnya sebagai oposan  pemerintah sekaligus pembela rakyat. Mengutip dialektika almarhum Pramoedya Ananta Toer bahwa pemuda harus memiliki keberanian jika tidak ingin disamakan dengan hewan ternak. Dan keberanian tersebut harus diimplementasikan dalam tindakan supaya pemuda tidak salah kaprah dan mengartikan keberanian sebagai ucapan di bibir saja, hanya berani kritik tetapi tidak bertindak apa-apa.
Tidak cukup apabila pemuda hanya mengkaji, diskusi, dan aksi tetapi melupakan untuk apa dan siapa mereka sesungguhnya berjuang. Pemuda tidak seharusnya egois dan hanya memahamkan diri sendiri, melainkan  juga harus memberikan pemahaman kepada masyarakat awam supaya mereka memahami juga mengenai akibat korupsi terutama bagi mereka sendiri dan pentingnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemuda harus menjadi moral force yang menggerakkan masyarakat untuk turut ambil peran dalam perubahan Indonesia dan hal tersebut harus diawali dengan penyadaran kepada masyarakat karena sesuai dengan filsafat Freire bahwa pendidikan lah yang akan membebaskan manusia dari alienasi atas dirinya. Dalam hal ini pemuda harus menyadari posisinya yang dituntut untuk berpihak kepada masyarakat dan mengimplementasikannya melalui berbagai program di masyarakat. Pemuda tidak boleh apatis dengan mengalienasi dirinya dalam zona nyaman tetapi harus terjun ke dalam berbagai kegiatan yang tentunya akan membawa efek positif dalam usaha perbaikan bangsa. Pemuda bisa memulai dengan melakukan praktek advokasi kecil kepada masyarakat yang dirugikan dalam pungutan liar di berbagai wilayah administrasi (pembuatan ktp, surat nikah, dll), kemudian melakukan pengawasan kepada berbagai wilayah administrasi yang dirasa rentan dengan praktek korupsi, hingga mengawasi berbagai kebijakan publik yang ada. Selain itu pemuda juga dituntut untuk melakukan penyadaran melalui pendidikan anti korupsi kepada masyarakat, tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa yang berat, mengutip salah satu dialektika almarhum Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa, "Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka , dengan bahasa yang mereka tahu" maka pemuda terpelajar dituntut untuk menggunakan bahasa yang membumi untuk membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat sehingga nantinya masyarakat dapat membersamai pemuda dalam usaha pemberantasan korupsi.

Sunday, January 29, 2012

Favorite Quote Ch. 01

"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya"
-Pramoedya Ananta Toer-

Friday, January 27, 2012

Menyoal pemidanaan : Mari kita perbaiki :)

Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pasca amandemen yang menyebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Istilah negara hukum yang digunakan di Indonesia berasal dari istilah ‘rechtsstaat’ atau ‘the rule of law’. Istilah rechtsstaat digunakan di negara-negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental, sedangkan istilah the rule of law digunakan oleh negara-negara Anglo Saxon. Pada abad ke-20 fungsi negara hukum terus berkembang seiring dengan perkembangan penyelenggaraan negara yang terus berubah. Fungsi negara berubah dari konsep negara hukum klasik (abad ke-19) menuju negara hukum modern di abad ke-20. Konsep negara hukum klasik memposisikan fungsi negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban (nachtwatcherstaat), sedangkan fungsi negara pada konsep negara hukum modern bukan hanya menjaga keamanan dan ketertiban, melainkan juga untuk mensejahterakan rakyatnya (welfare state). Sebagai sebuah negara hukum, maka wajar jika semua perilaku warga negara dan aparaturnya harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, perbuatan yang menyimpang atau melanggar hukum harus diproses sesuai dengan ketentuan yang ada dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip negara hukum. Sejalan dengan fungsi negara hukum modern tersebut, tujuan hukum harus diarahkan kepada kemanfaatan hukum, tanpa mengabaikan keadilan dan kepastian hukum. Penegakan hukum tidak semata-mata dilakukan berdasarkan kepastian hukum dengan berlindung dibalik asas legalitas, namun perlu memperhatikan kemanfaatan atau hasil guna dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.

Indonesia mengenal pembagian hukum menjadi dua yaitu hukum privat dan hukum publik. Hukum pidana termasuk dalam ranah hukum publik. Beberapa sanksi dalam hukum pidana tersebut kemudian langsung terkait dengan perampasan HAM berupa hak atas kemerdekaan dalam hukuman kurungan atau penjara. Bahkan dalam beberapa kasus khusus perampasan hak untuk hidup juga dapat terjadi melalui penjatuhan pidana mati. Selain itu, dalam proses penegakkan hukum pidana juga terdapat potensi pelanggaran HAM yang sangat besar karena hukum pidana kita mengatur tentang upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat. Melihat potensi pelanggaran HAM yang sangat besar dalam penegakkan hukum pidana maka wajar ketika terjadi revolusi di Prancis salah satu yang menjadi tuntutan adalah kodifikasi hukum pidana. Melalui kodifikasi diharapkan masyarakat mengetahui dengan jelas mengenai perbuatan yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan sehingga kepastian hukum pun tercapai.

Hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan dalam arti reformasi hukum pidana sudah mengalami 3 tahap. Pada tahap pertama hukum pidana tidak lagi menyatu dengan penguasa melainkan menjadi alat kontrol penguasa, pada tahap kedua hukum bersendikan perikemanusiaan, dan pada tahap ketiga hukum berorientasi dengan iptek yang diikuti dengan fungsi peradilan menuju konsep kemanfaatan, kepastian, dan keadilan di bidang hukum. Perkembangan hukum pidana pada tahap ketiga ini sudah sesuai dengan tujuan negara untuk mengarahkan hukum demi kemanfaatan dan kesejahteraan bagi masyarakat demi tercapainya sebuah negara hukum modern yang sejahtera (welfare state).

Dalam perkembangannya, wajah hukum pidana di masa lalu memiliki sanksi yang lebih jahat dari obyek kejahatannya bahkan pembentukan hukumnya memuat norma “criminal extra ordinaria” yang diterapkan secara sewenang-wenang sehingga hukum pidana ketika itu dapat dikatakan bersifat barbar . Ketika HIR diberlakukan, sifat barbar tersebut masih nampak. Pada masa itu ketika proses penyidikan berlangsung si tersangka disiksa secara fisik maupun psikis untuk memperoleh pengakuan. Pelaksanaan penahan maupun pidana penjara pun sulit dibedakan karena penahanan dapat dilakukan sewenang-wenang tanpa surat perintah dan tanpa batasan waktu.

Menjelang abad 18 di tengah euforia pembebasan dari cengkraman penguasa yang absolut, hukum pidana mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan adanya prinsip humanity sehingga dari segi sanksi pun harus menghormati HAM . Hal tersebut berimplikasi pada pelaksanaan sanksi yang semakin baik dan dilaksanakan oleh manusia yang beradab.

Ide sistem pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Sahardjo ketika menjadi Menteri Kehakiman. Ketika itu beliau tengah dalam acara penerimaan gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia, pada tanggal 5 Juli 1963 . Pada saat pidato penganugerahan doktor honoris causa tersebut, Sahardjo mengemukakan bahwa penghukuman bukan hanya untuk melindungi masyarakat melainkan harus pula membina si pelanggar. Dan si pelanggar hukum bukan lagi disebut sebagai penjahat, melainkan sebagai orang yang tersesat dan memerlukan pertobatan melalui sistem pembinaan. Bahkan sejak tahun 1956 PBB telah menggagas tentang “the treatment of offender” yang perlu diadaptasikan oleh negara-negara anggota PBB melalui kebijakan pidana berdasarkan ‘the Basic of Community Treatment’ . Treatment adalah perlakuan yang baik atau perlakuan yang ditujukan ke arah perbaikan atau pembinaan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, ada sebuah tuntutan akan perubahan dalam hukum pidana yang humanis melalui perubahan KUHP dan KUHAP. Memang hal ini akan sulit dilaksanakan mengingat sudah begitu lama mahasiswa fakultas hukum maupun para pakar hukum memahami hukum pidana hanya sebatas pada pemberian nestapa atau penderitaan bagi pelakunya. Pandangan yang demikian kemudian mempengaruhi pemahaman para penegak hukum bahwa pelaku kejahatan baik tersangka, terdakwa, maupun terpidana pantas diberi nestapa sejak dalam proses penyidikan melalui penahanan hingga pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Akhirnya ketika seorang pelaku kejahatan berada di Rumah Tahanan Negara (Rutan) hingga dipindah ke Lapas perlakuan yang mereka terima bukan perlindungan hukum, pencerdasan, ataupun gambaran akan kesejahteraan di masa depan yang seharusnya diterima melainkan sebaliknya. Mereka cnderung mendapatkan tekanan fisik maupun psikis yang membuat mereka semakin tertekan, rendah diri, dan bahkan berubah menjadi lebih jahat dari sebelumnya sebagai wujud pemberontakan. Dan memang pada faktanya banyak kasus yang menunjukkan bagaimana setelah keluar Lapas, seseorang bukannya menjadi semakin baik malah semakin jahat.

Perlakuan yang keras acap kali dirasakan oleh para tersangka/terdakwa/terpidana yang dari segi ekonomi lemah. Sedangkan bagi mereka yang memiliki uang dapat menikmati beragam fasilitas di Rutan atau Lapas tempat mereka berada. Disini kita bisa melihat sebuah bentuk diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Perilaku suap-menyuap yang dilakukan membuat para narapidana lebih diistimewakan oleh oknum pejabat yang ada di Lapas. Sedangkan bagi yang tidak mampu memberikan apa-apa tentu akan diperlakukan sebaliknya. Bukan hanya tidak diperhatikan tapi juga mendapat perlakuan yang cenderung kurang atau tidak manusiawi. Bahkan di dalam Lapas pun akhirnya dikenal adanya blok-blok berdasarkan kelas sesuai dengan tingkat fasilitas dan perhatian yang diberikan oleh para petugas Lapas.

Dari sekian banyak permasalahan yang ada, efektivitas penahanan dan pidana penjara pun dipertanyakan. Ruh dari penegakkan hukum pidana di Indonesia juga dipertanyakan, apakah pidana hanya mengenai pemberian nestapa atau sedang menuju arah yang lebih humanis, yang memanusiakan manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan jawaban atas pertanyaan di atas. Hal ini agar permasalahan tersebut tidak mengganggu usaha penegakkan hukum pidana serta agar penegakkan hukum pidana selain menjanjikan kepastian hukum tetapi juga membawa kemanfaatan bagi masyarakat. VIVA JUSTICIA!!!

pic from : http://www.rae-kuntzsch.de/links.htm

  1. Bambang Poernomo, Reformasi dan Dinamika Peradilan Indonesia, Makalah, dalam Bahan Kuliah Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, (Jakarta : Universitas Jayabaya, 2001)
  2. Bambang Poernomo, Perkembangan Adaptasi Sanksi Pidana Dalam Lingkup Asas Hukum Pidana, Makalah, disampaikan pada Tim Kajian Hukum Pidana BPHN, Departemen Kehakiman dan HAM RI, dalam Bahan Kuliah “Hukum Pidana Dinamika Perubahan ‘Reform, Repair and Replace’ Norma Hukum dan Sanksi Hukum Pidana Dari Kemajuan Standar Hukum Masyarakat Internasional”, (Jakarta : Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, tt)
  3. Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia Dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1985)
  4. Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1982)