Tuesday, December 28, 2010

Sekolah Mahal, Tanya Kenapa?


“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”
(Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945)


Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Jepang mampu bangkit dari keterpurukan di masa perang Dunia II pun karena kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan. Hak atas pendidikan juga menjadi salah satu hak asasi yang diakui dan dimuat dalam Universal Declaration of Human Right. Sejarah menuliskan bahwa perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan dipelopori oleh kaum terpelajar. Dan sejarah bangsa-bangsa maju juga memberikan pelajaran penting bahwa pendidikan adalah jembatan menuju kemajuan peradaban. Namun hingga kini Indonesia dalam prakteknya belum menempatkan pendidikan sebagai prioritas.

Esensi pendidikan sesungguhnya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Para founding fathers telah menyadari hal tersebut dan mencantumkannya dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu dalam usaha mencapai tujuan sebagai welfare state, pendidikan bagi semua kalangan merupakan keniscayaan. Maka bangsa manakah yang dicerdaskan ketika pendidikan tidak lagi menjadi hak dasar warga negara yang dilindungi dan dijamin oleh negara (pasal 28C dan 31 ayat (1) UUD 1945), melainkan menjadi komoditas yang diperdagangkan. Dalam perkembangannya,pendidikan di Indonesia mengalami pergeseran paradigma dari pendidikan untuk semua menjadi hanya untuk mereka yang memiliki uang banyak. Realita memperlihatkan bahwa biaya pendidikan semakin mahal dan pada akhirnya pendidikan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Pendidikan yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar seakan menjelma menjadi kebutuhan tersier yang mahal. Pendidikan menjadi barang mewah yang tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan, padahal mayoritas warga negara Indonesia adalah mereka yang tinggal di gang-gang kumuh, di bantaran kali, di kolong jembatan, dan bahkan emper toko. Padahal sesungguhnya mereka inilah pihak yang paling membutuhkan sarana untuk mobilitas vertikal sehingga yang miskin tidak selamanya bodoh, dan yang bodoh tidak selamanya miskin.

Anehnya pada konteks kekinian timbul paradigma bahwa pendidikan yang bagus berarti mahal dan hal tersebut mendorong makin banyaknya lembaga pendidikan yang berkonsentrasi pada peningkatan kualitas fisik. Lembaga pendidikan sibuk menjual fasilitas, gedung yang megah, ruangan ber-AC, hotspot, bahkan gratis laptop. Dan hal tersebut mendorong gejala eksklusivisme yang merugikan rakyat kebanyakan karena sekolah cenderung lebih terbuka untuk anak-anak pandai yang berasal dari golongan kaya. Dalam hal ini timbul adanya jurang pemisah yang membatasi akses masyarakat miskin untuk mendapat pendidikan berkualitas dan berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin makin termarjinalkan dan jumlah anak-anak yang putus sekolah tentunya akan makin membesar. Belum lagi kurangnya partisipasi pemerintah yang menyebabkan menjamurnya lembaga pendidikan berorientasi profit yang mahal dan sedikit banyak menjadi salah satu faktor pendorong adanya eksklusivitas pendidikan. Anggaran pendidikan yang dialokasikan sebesar 20% dari APBN dan APBD pada kenyataannya masih abu-abu. Masih banyak masyarakat yang kesulitan untuk membiayai pendidikan anaknya karena masih diberatkan oleh banyak pungutan-pungutan yang ditarik oleh sekolah. Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan sebanyak 67% bahwa ketiadaan biayalah yang memaksa mereka untuk putus sekolah. Lantas, dimanakah letak tanggung jawab pemerintah dalam hal ini?

Pemerintah seharusnya menjadi fasilitator yang benar-benar memfasilitasi pendidikan, baik ketersediaan maupun keterjangkauannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pembukaan UUD 1945 merumuskan sebuah konsep pencerdasan kehidupan bangsa yang dititipkan kepada seluruh rakyat, dan pemerintah menjadi tulang punggungnya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (4), juga telah jelas disebutkan bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan nasional minimal dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggaraan Pendidikan Nasional sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Idealnya, penyelenggaraan pendidikan nasional mengacu pada konstitusi, tetapi pada kenyataannya Negara telah “berselingkuh” dengan para pemodal yang berorientasi laba. Pendidikan tidak lagi merakyat, melainkan sudah menjadi barang mewah yang tidak terjangkau oleh kaum miskin. Pendidikan tidak lagi murni berorientasi mencerdaskan, melainkan juga menjadi ajang mengeruk keuntungan dan korupsi. Apakah pendidikan kita sudah kehilangan arah dan malah berperan dalam memiskinkan masyarakat?

Monday, December 27, 2010

Tanggungjawab Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana


Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
(Ketentuan Umum UU Penanggulangan Bencana)


Posisi Indonesia secara geografis memang sangat rawan akan bencana. Indonesia berada di antara dua patahan yang masih aktif dan bertumbukan yang menyebabkan rawan akan bencana gempa bumi, dimana gempa bumi ini memungkinkan terjadinya bencana tsunami dan tragedi Aceh telah menjadi bukti yang tak terbantahkan. Selain itu Indonesia memiliki rangkaian pegunungan berapi yang masih aktif sehingga angat beresiko terjadinya bencana gunung meletus. Menurut Undang-undang 24 Tahun 2007 Pasal 1 Nomor 1 bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Oleh karena itu sudah dipastikan setiap bencana merupakan kerugian bagi penduduk maupun pemerintah daerah setempat. Penduduk kehilangan harta benda, surat-surat berharga, dan tentunya dampak psikologis yang berbahaya bagi kelanjutan kehidupan mereka.

UU Penanggulangan Bencana yang disahkan pada 2007 jelas mencantumkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dan penanggulangan bencana dilakukan pada saat pra bencana, saat bencana dan pasca bencana.

Menurut pasal 6 UU Penanggulangan Bencana, tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Pasal tersebut merinci dengan jelas bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab untuk memulihkan kondisi dari dampak bencana dan tahap ini dilakukan dalam tahap pasca bencana atau periode setelah tanggap darurat.

Pascabencana merupakan momentum untuk mengembalikan kehidupan korban bencana seperti semula dan penyelenggaraannya dilakukan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.

Rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi pembangunan kembali prasarana dan sarana pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat, peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi pelayanan publik, dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Pada kasus bencana gunung Merapi yang terjadi beberapa waktu lalu, penanganan Pemerintah dalam tahap penanggulangan bencana dapat dinilai lambat dan kurang maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal, mulai dari belum masifnya bantuan untuk perbaikan rumah tinggal masyarakat, rendahnya nilai uang kompensasi kerusakan rumah yang ditawarkan oleh pemerintah pusat, belum terealisasinya janji pemerintah untuk membeli ternak warga dengan harga yang pantas, hingga pemulihan fungsi pelayanan publik untuk mengurusi dokumen berharga warga yang belum begitu diperhatikan.

Dalam hal perbaikan rumah warga yang rusak, pemerintah hanya memberikan kompensasi berupa sejumlah uang dalam jumlah yang tidak bisa dibilang cukup. Untuk rusak ringan pemerintah menganggarkan Rp. 1 juta, Rp. 1-5 juta untuk rusak sedang, dan Rp. 10 juta untuk rusak berat. Seperti yang umum diketahui, banyak sekali rumah yang mengalami kerusakan parah hingga rata dengan tanah. Kompensasi sebesar Rp. 10 juta dapat dinilai kurang relevan untuk kondisi seperti itu. Padahal harusnya pemerintah bisa mengambil tindakan konkrit lain yang lebih efektif seperti membuat pemukiman sederhana yang layak bagi warga setempat, terutama yang rumahnya telah rata dengan tanah dibanding memberikan kompensasi sejumlah uang yang jumlahnya tidak mencukupi untuk membangun sebuah rumah karena pemukiman adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh warga untuk mulai menata hidupnya kembali pasca terjadinya bencana.

Sedangkan dalam hal pembelian ternak warga yang diakui oleh menteri pertanian tidak akan cukup apabila dibayar dengan APBN juga harus disegerakan mengingat warga di sekitar lereng gunung Merapi adalah warga yang hidup dari pertanian dan tentunya ternak adalah hal yang sangat fundamental dalam memulai kembali kegiatan pertanian mereka. Pemerintah seharusnya telah mulai mendata mengenai ternak-ternak yang dimiliki warga dan menmbelinya dengan harga yang pantas sesuai janji yang telah diberikan.

Hal lain yang mengalami proses cukup lambat adalah pemulihan fungsi pelayanan publik. Dokumen berharga seperti surat identitas tentunya merupakan hal yang sangat penting. Dan banyak diantara korban gunung merapi yang kehilangan identitasnya ataupun dokumen berharga lainnya dalam bencana. Dan seperti yang diketahui tidak dimilikinya KTP oleh seseorang akan mempersulit pengurusan segala sesuatu. Selain itu dokumen hukum lainnya seperti Akta Kelahiran, Sertifikat Tanah, Surat Nikah, Surat Keterangan Miskin, Kartu Keluarga, Ijazah dan lain-lain yang diurus oleh kantor yang berbeda-beda pun ketika terjadi bencana bagaimana nasib warga yang kehilangan dokumen miliknya. Regulasi di tingkat pusat tidak memberikan kejelasan mengenai siapa yang berwenang memulai tindakan dalam pemulihan fungsi pelayanan publik. Hal ini mengakibatkan pemda bergerak lambat dalam mendelegasikan tugas ini kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (misal: kecamatan). Tanpa kejelasan regulasi maka pendanaan akan kacau, sumber dana untuk mengganti dokumen warga yang hilang tidak jelas.

Dari ketiga aspek diatas dapat dilihat bahwa pemerintah belum melaksanakan tanggungjawabnya dengan maksimal untuk proses penanggulangan pasca bencana, padahal seharusnya hal tersebut menjadi tugas pemerintah yang diatur dalam undang-undang. Ditambah pemerintah telah menetapkan bencana gunung merapi sebagai bencana nasional (yang sesungguhnya salah karena bencana merapi merupakan bencana lokal menurut undang-undang jika dilihat dari skala bencana), sehingga hal tersebut memperkuat tanggungjawab pemerintah dalam penanggulangan bencana merapi. Dan pemerintah harus bekerjasama dengan pemda untuk segera melakukan pemulihan terhadap berbagai aspek kehidupan warga yang terkena bencana.

Monday, November 29, 2010

Teruntuk para sahabat yang membersamai dalam perjuangan, yang meyakini sebuah perubahan...

PESAN

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

Soe Hok Gie (dimuat dalam Sinar Harapan 18 Agustus 1973)

P.S : Sahabat, terimakasih untuk kebersamaan dalam masa-masa yang begitu berat dan sulit. Perjuangan yang kita lakukan belum selesai, belum apa-apa. tetapi yakinlah bahwa perjuangan ini semua akan membuahkan hasil dan tidak akan ada yang sia-sia selama perjuangan kita tulus dan ikhlas untuk mengatasi permasalahan di negeri ini, negeri cinta kita bersama. Ingatlah selalu bahwa jika kita bukan bagian dari penyelesaian, maka kita adalah bagian dari persoalan dan bahwa keberpihakan adalah keniscayaan. Perjuangan kita bukan tanpa pengorbanan, bukan tanpa kesulitan. Tetapi kita harus tetap berjuang karena pengorbanan dan kesulitan itulah sarana kita untuk berproses, untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. PB Sudirman pernah berkata, "Jgn bimbang menghadapi bermacam-macam penderitaan. Karena makin dekat cita-cita kita tercapai makin berat penderitaan yang harus kita alami."
VIVA JUSTICIA!

Thursday, November 25, 2010

PRESS RELEASE : SEMINAR NASIONAL ANTI KORUPSI, PERSEMBAHAN FH UGM UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Yogyakarta – Dalam rangka bulan anti korupsi yang bertajuk “JUSTISIA (Junjung Tinggi Pemberantasan Korupsi di Indonesia)”, Dema Justicia FH UGM bekerjasama dengan KPK telah mengadakan serangkaian acara sepanjang akhir Oktober hingga November 2010. Diawali dengan lomba mewarnai kaos anti korupsi yang dilaksanakan pada 30 Oktober 2010 di Taman Budaya Yogyakarta dan dihadiri oleh sejumlah siswa sekolah dasar di Yogyakarta ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan pendidikan anti korupsi sejak dini. Selanjutnya yang juga menjadi rangkaian bulan anti korupsi adalah acara melukis celengan oleh para perupa muda dari sekolah seni di Yogyakarta pada tanggal 13 November 2010 yang diadakan juga di Taman Budaya Yogyakarta. Celengan yang telah dilukis tersebut selain untuk mengingatkan warga akan bahaya korupsi juga bertujuan untuk menggalang dana solidaritas bagi korban merapi. Kemudian Dema Justicia FH UGM juga mengadakan diskusi publik sebagai pemantik untuk menuju acara puncak rangkaian JUSTISIA dengan menghadirkan pembicara yang kompeten pada bidangnya yaitu seorang anggota komisi D DPRD DIY dan perwakilan dari DIKPORA (Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga) pada tanggal 19 November 2010 di Ruang Multimedia FH UGM.

Rangkaian acara JUSTISIA akan mencapai puncaknya pada acara seminar nasional bertajuk “Peran Korupsi Terhadap Dehumanisasi Pendidikan di Masa Kontemporer”. Seminar ini akan diadakan pada Minggu, 28 November 2010 pukul 08.00 sampai dengan selesai di Auditorium Magister Manajemen UGM. Pelaksanaan seminar ini didasari oleh keprihatinan akan adanya korupsi yang juga merambah di bidang pendidikan padahal seperti yang diketahui, pendidikan adalah salah satu hal yang paling penting dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti diatur dalam Pasal 31 UUD 1945 dimana pendidikan merupakan hak seluruh warga negara dan negara mempunyai kewajiban untuk memberikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Tetapi pada faktanya yang justru terjadi adalah berbagai penyimpangan dalam pengelolaan administrasi keuangan dalam lingkungan institusi pendidikan. Modus yang dilakukan beragam, mulai dari mark-up anggaran hingga penyelewengan berbagai dana sekolah seperti BOS, DAK, sumbangan pendidikan, dan dana lainnya.

Menurut Herman Abdurrahman selaku Ketua Panitia rangkaian acara JUSTISIA, hal tersebut terjadi karena korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan dan kejahatan terjadi karena ada kesempatan dan niat dari pelakunya bertemu berakumulasi menjadi suatu bentuk kejahatan, adanya niat dari para pendidik dan atau penyelenggara pendidikan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih yang bukan menjadi haknya didukung pula dengan adanya kesempatan berupa lemahnya kontrol pemerintah, aparat penegak hukum yang bermental koruptif serta produk-produk hukum yang buruk yang dihasilkan oleh para pembuat legislasi bangsa ini.

Oleh karena itu dibutuhkan adanya kesadaran di seluruh lapisan masyarakat akan pentingnya memahami dan mengawal korupsi pendidikan sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan yang harus dilawan bersama dan salah satu caranya adalah dengan meningkatkan pemahaman melalui seminar nasional “Peran Korupsi Terhadap Dehumanisasi Pendidikan di Masa Kontemporer”, persembahan FH UGM untuk pemberantasan korupsi pendidikan Indonesia. Demi Indonesia yang lebih baik untuk semua.

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Herman Abdurrahman : 08563666123
Hurrin Nur Izzah : 087838282022

Monday, November 22, 2010

Anti Korupsi dan Anti Mafia Peradilan


Makin korup suatu negara makin banyak hukumnya (Taticus)

Korupsi menyebar secara merata di wilayah negara ini mulai dari Aceh hingga Papua, dari provinsi paling barat hingga di ujung satunya. Dari sejarah panjang negara ini, tidak pernah disebutkan bahwa korupsi memberikan kesejahteraan rakyat ataupun mensukseskan pembangunan. Korupsi selalu menjadi kejahatan kemanusiaaan yang merenggut kesempatan hidup orang banyak dan memperkaya si koruptor pada sisi lain. Sangat kontras melihat orang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dimiliki dan menginjak hak orang lain. Hal itulah yang menyebabkan si kaya makin kaya dan si miskin menjadi begitu miskinnya sehingga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya. Korupsi adalah perilaku pejabat publik, politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka .

Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 seseorang dapat dikatakan melakukan korupsi apabila berusaha menguntungkan diri yang menyebabkan kerugian negara dengan suap menyuap, menyalahgunakan jabatan, memeras, berbuat curang, pengadaan barang, ataupun gratifikasi. Setelah dikeluarkannya UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001, telah muncul banyak sekali produk hukum yang dikatakan sebagai usaha pemberantasan korupsi. Mulai dari berbagai inpres, pp, hingga puncaknya sebuah undang-undang yang mengukuhkan eksistensi lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi yang dikenal sebagai KPK dan disusul dengan UU Pengadilan Tipikor. Dengan produk hukum yang sedemikian banyaknya pun pemberantasan korupsi belum mencapai kemajuan yang diharapkan mengingat masih banyak hambatan-hambatan yang ditemui mulai dari makin menjamurnya para pejabat publik korup dalam tubuh eksekutif dan legislatif, kepentingan-kepentingan yang termuat dalam lembar demi lembar kertas dan kemudian terlegitimasi menjadi sebuah produk hukum, hingga munculnya penyakit kronis dalam tubuh institusi penegakan hukum yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan korupsi. Penyakit yang merupakan sebuah modus mutakhir dalam melakukan korupsi sekaligus mematikan pemberantasan korupsi inilah yang diketahui bernama mafia peradilan.

Istilah mafia peradilan yang mulai dikenal luas sejak kasus suap Artalyta-Jaksa Urip sesungguhnya telah muncul dalam sebuah Pelatihan Anti Mafia Peradilan pada tahun 1970-an. Mafia peradilan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang memengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusa rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan . Lebih mudahnya dapat dikatakan bahwa mafia peradilan merupakan praktik korupsi di lingkungan peradilan atau di lingkungan penegakan hukum secara lebih luasnya. Praktik mafia peradilan ini seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menyelamatkan para pelaku korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dari seringnya terjadi disparitas yang cukup jauh antara tuntutan JPU dengan putusan yang akhirnya diberikan oleh hakim dalam kasus korupsi. Dalam hal ini terlihat jelas hubungan yang begitu dekat dan simbiosis antara korupsi dengan mafia peradilan. Seorang mafia peradilan melakukan penyalahgunaan wewenang dengan menyelamatkan koruptor, dan koruptor tersebut pun melakukan korupsi (lagi) dengan menyuap penegak hukum agar terbebas dari dakwaan korupsi. Sungguh sebuah lingkaran setan yang tiada habisnya, terus berputar dan berputar di situ-situ saja. Tidak dapat dinafikan bahwa korupsi tidak akan dapat diberantas hingga akar-akarnya selama proses penegakan hukum masih memiliki mental anda jual saya beli yang terwujud dalam praktik mafia peradilan mengingat begitu kuatnya terjalin hubungan antara keduanya. Karena itu dibutuhkan komitmen yang begitu kuat dari berbagai elemen yang ada mulai dari masyarakat, pemerintah, hingga penegak hukum dalam membangun suatu proses penegakan hukum yang berlandaskan pada keadilan demi tercapainya cita-cita pemberantasan korupsi yang selalu digaungkan sebagai agenda wajib pasca reformasi.

Perlunya pendidikan anti korupsi bagi mahasiswa FH agar pemahaman dan kekritisan yang dimiliki mahasiswa FH memiliki dasar keilmuan yang jelas. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya memiliki dasar yang kuat dan tidak berdasarkan asumsi belaka. Selain itu mahasiswa fakultas hukum sebagai calon penegak hukum di kemudian hari harus dapat memahami bahwa praktik korupsi dan mafia peradilan bukanlah sebuah budaya bangsa yang harus dilestarikan melainkan penyakit-penyakit kronis yang harus disembuhkan sampai ke akar-akarnya demi tercapainya cita-cita penegakan hukum yang berdasarkan pada keadilan.

VIVA JUSTICIA!

Sunday, November 21, 2010

Advokasi dalam Civil Society


Webster’s new Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan . Dalam hal itu advokasi dilakukan untuk membela kepentingan masyarakat tertindas oleh individu, kelompok, LSM, dan organisasi yang mempunyai kepedulian akan masalah HAM, lingkungan, kemiskinan, dan berbagai bentuk ketidakadilan.

Selain itu, advokasi juga dapat dikatakan sebagai sebuah proses untuk melakukan perubahan secara terorganisir dan sistematis. Advokasi dilakukan berangkat dari pemahaman dan keyakinan para penggiatnya bahwa ketidakadilan yang menimpa kelompok tertindas tersebut disebabkan oleh tatanan kekuasaan yang timpang dan tidak demokratis sehingga meminggirkan partisipasi kelompok akar rumput dalam pembentukan kebijakan.

Advokasi dimaksudkan untuk melakukan transformasi sosial dengan mewujudkan tatanan kekuasaan yang seimbang dan demokratis serta mengikutsertakan dan membuka akses kelompok akar rumput dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kebijakan yang berakibat langsung kepada kehidupan mereka.

Advokasi bukanlah revolusi melainkan sebuah usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya transformasi sosial melalui berbagai saluran yang tersedia. Advokasi yang dilakukan oleh LSM merupakan upaya untuk meningkatkan bargaining position masyarakat tertindas. Dalam hal ini kegiatan advokasi yang dilakukan meliputi pendidikan dan penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat tertindas, pemberian bantuan hukum yang menitikberatkan pada proses litigasi dengan melakukan pembelaan hak-hak masyarakat tertindas di muka pengadilan, lobi politik yang dilakukan ke basis pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan, hingga mobilisasi massa dengan melakukan aksi ataupun demonstrasi untuk mendesakkan kepentingan yang diusung dalam aksi massa tersebut.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dari pasal tersebut dapat kita simpulkan bahwa advokasi yang dilakukan oleh LSM ataupun organisasi lainnya, yang merupakan pembelaan hak dan kepentingan rakyat pada hakikatnya merupakan hal yang sah. Proses advokasi dapat dikatakan sebuah usaha untuk menggugat kedudukan masyarakat tertindas dalam hukum dan pemerintahan yang seharusnya setara. Sebab yang biasa diperjuangkan melalui advokasi adalah keentingan kelompok masyarakat tertindas yang umumnya merupakan mayoritas dalam negara. Mayoritas kelompok masyarakat miskin dan tertindas ini, yang seharusnya diperhatikan kepentingan dan aspirasinya malah seringkali dipinggirkan oleh penguasa. Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah jauh lebih sering mengakomodir kepentingan politik dan ekonomi orang ataupun kelompok tertentu yang mengakibatkan kebijakan yang dibuat tidak pro rakyat dan mengabaikan kepentingan rakyat miskin tertindas. Disinilah peran LSM dalam melakukan advokasi untuk menuntut adanya pertanggungjawaban negara dalam segala sektor kehidupan masyarakat demi tercapainya tujuan negara sebagai Welfare State. Dan untuk melakukan hal tersebut, diperlukan adanya free public sphere yang menjamin kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berkumpul serta berorganisasi.

LSM yang memusatkan perhatian pada masalah kemiskinan, pendidikan, pembangunan berkelanjutan, hak-hak demokrasi, dan hal-hal menyangkut ketidakadilan lainnya melihat bahwa pemerintah sering membuat kebijakan yang menghambat serta membatasi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang memadai, upah yang cukup, hingga lingkungan dan kehidupan yang baik. Oleh karena itu LSM merasa perlu untuk meletakkan advokasi dan merubah kebijakan sebagai agenda mendesak yang perlu dilakukan karena perubahan yang ingin dicapai akan sulit diraih ketika terbentur dengan kebijakan yang menghambat.

Upaya advokasi suatu kebijakan tidak hanya memperluas ruang demokrasi dengan partisipasi aktif masyarakat melainkan juga untuk memperkuat civil society. Ketika advokasi yang dilakukan memajukan tingkat partisipasi aktif masyarakat maka akan terbentuk beberapa perubahan di berbagai dimensi, mulai dari kemampuan mempengaruhi kebijakan, memajukan demokrasi, hingga menyeimbangkan kekuasaan sehingga tidak terpusat dan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat miskin.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tentu harus melalui beberapa tahap pembuatan. Proses pembuatan kebijakan publik merupakan sesuatu yang kompleks karena melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu para ahli membagi proses penyusunan kebijakan publik menjadi beberapa tahap, yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, hingga evaluasi kebijakan . Pada tahap penyusunan agenda, pembentuk kebijakan memilah masalah untuk dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Tahap selanjutnya alternatif kebijakan sebagai pemecahan mengenai permasalahan yang telah dibahas selanjutnya diformulasikan dan disusun. Kemudian pada tahap adopsi, alternatif tersebut ditawarkan kepada badan terkait untuk kemudian diadopsi atau diloloskan salah satunya. Di tahap implementasi kebijakan diterapkan dan ditegakkan. Terakhir tahap evaluasi, kebijakan yang telah dijalankan dinilai apakah sudah memperoleh dampak yang diinginkan atau belum.

Hal terbaik terjadi ketika LSM dapat mengintervensi setiap proses kebijakan tersebut dan memasukkan kepentingan kelompok akar rumput yang dibawanya sejak awal . Tetapi pada hal tertentu dimana proses tersebut tertutup atau rahasia, aksesnya tertutup, dan tidak memungkinkan dilakukan intervensi maka proses advokasi yang dilakukan oleh LSM akan menjadi sulit.

Strategi yang sering digunakan oleh LSM diantaranya adalah kerjasama, pendidikan, persuasi, litigasi, dan kontestasi . Dalam strategi kerjasama LSM bekerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki layanan negara. Lalu strategi pendidikan dimana LSM melakukan penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat serta memberi informasi, analisis, dan kebijakan alternatif. Strategi persuasi yang menggunakan informasi, analisis, dan mobilisasi massa untuk mendesakkan perubahan. Litigasi yang mengusahakan perubahan melalui jalur peradilan. Dan terakhir kontestasi yang menarik garis keras dan menggunakan protes untuk menunjukkan dampak negatif kebijakan dan menggunakan pressure untuk perubahan.

Dan akhirnya ketika advokasi telah dilakukan maka LSM harus melakukan evaluasi dampak advokasi. Evaluasi dilakukan sepenuhnya berdasarkan prestasi kecil maupun besar yang didapatkan. Sukses dalam advokasi meliputi tiga dimensi, yaitu pada tingkat kebijakan, pada tingkat civil society, dan pada tingkat demokrasi . Pada tingkat kebijakan suatu proses advokasi dapat dikatakan berhasil ketika terjadi perubahan kebijakan yang dikehendaki. Pada tingkat civil society dikatakan berhasil ketika advokasi yang dilakukan memperkuat LSM dan kelompok akar rumput sehingga terbangun hubungan kekuasaan yang lebih demokratis di masyarakat dimana lembaga publik dan sektor swasta yang ada lebih bertanggungjawab. Pada tingkat demokrasi, advokasi dikatakan berhasil ketika meningkatkan free public sphere bagi LSM dan pilar penegak civil society lainnya untuk memperjuangkan aspirasi tanpa ada pembatasan.

Perlu diingat bahwa advokasi hanyalah upaya untuk memfasilitasi kepentingan rakyat tertindas dan bukanlah upaya mengerjakan semua kepentingan mereka karena hal jelek yang terjadi selama ini adalah penggiat advokasi dan organisasinya lah yang menjadi bintang atau pahlawan rakyat. Satu kunci keberhasilan proses advokasi adalah memfasilitasi rakyat tertindas sampai mereka akhirnya memiliki pemahaman dan pandangan sendiri mengenai keadaan dan masalah mereka. Advokasi yang dilakukan oleh LSM harus mempertimbangkan keikutsertaan masyarakat dalam proses tersebut sehingga esensi advokasi untuk “Menyuarakan suara mereka yang tidak dapat bersuara dan membuat mereka menjadi bersuara.” dapat terpenuhi. Karena sesungguhnya proses advokasi yang dijalankan harus mampu memberikan efek jangka panjang berupa kekuatan bagi para masyarakat tertindas untuk membela dan memperjuangkan haknya sendiri.