Tuesday, December 28, 2010

Sekolah Mahal, Tanya Kenapa?


“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”
(Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945)


Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Jepang mampu bangkit dari keterpurukan di masa perang Dunia II pun karena kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan. Hak atas pendidikan juga menjadi salah satu hak asasi yang diakui dan dimuat dalam Universal Declaration of Human Right. Sejarah menuliskan bahwa perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan dipelopori oleh kaum terpelajar. Dan sejarah bangsa-bangsa maju juga memberikan pelajaran penting bahwa pendidikan adalah jembatan menuju kemajuan peradaban. Namun hingga kini Indonesia dalam prakteknya belum menempatkan pendidikan sebagai prioritas.

Esensi pendidikan sesungguhnya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Para founding fathers telah menyadari hal tersebut dan mencantumkannya dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu dalam usaha mencapai tujuan sebagai welfare state, pendidikan bagi semua kalangan merupakan keniscayaan. Maka bangsa manakah yang dicerdaskan ketika pendidikan tidak lagi menjadi hak dasar warga negara yang dilindungi dan dijamin oleh negara (pasal 28C dan 31 ayat (1) UUD 1945), melainkan menjadi komoditas yang diperdagangkan. Dalam perkembangannya,pendidikan di Indonesia mengalami pergeseran paradigma dari pendidikan untuk semua menjadi hanya untuk mereka yang memiliki uang banyak. Realita memperlihatkan bahwa biaya pendidikan semakin mahal dan pada akhirnya pendidikan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Pendidikan yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar seakan menjelma menjadi kebutuhan tersier yang mahal. Pendidikan menjadi barang mewah yang tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan, padahal mayoritas warga negara Indonesia adalah mereka yang tinggal di gang-gang kumuh, di bantaran kali, di kolong jembatan, dan bahkan emper toko. Padahal sesungguhnya mereka inilah pihak yang paling membutuhkan sarana untuk mobilitas vertikal sehingga yang miskin tidak selamanya bodoh, dan yang bodoh tidak selamanya miskin.

Anehnya pada konteks kekinian timbul paradigma bahwa pendidikan yang bagus berarti mahal dan hal tersebut mendorong makin banyaknya lembaga pendidikan yang berkonsentrasi pada peningkatan kualitas fisik. Lembaga pendidikan sibuk menjual fasilitas, gedung yang megah, ruangan ber-AC, hotspot, bahkan gratis laptop. Dan hal tersebut mendorong gejala eksklusivisme yang merugikan rakyat kebanyakan karena sekolah cenderung lebih terbuka untuk anak-anak pandai yang berasal dari golongan kaya. Dalam hal ini timbul adanya jurang pemisah yang membatasi akses masyarakat miskin untuk mendapat pendidikan berkualitas dan berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin makin termarjinalkan dan jumlah anak-anak yang putus sekolah tentunya akan makin membesar. Belum lagi kurangnya partisipasi pemerintah yang menyebabkan menjamurnya lembaga pendidikan berorientasi profit yang mahal dan sedikit banyak menjadi salah satu faktor pendorong adanya eksklusivitas pendidikan. Anggaran pendidikan yang dialokasikan sebesar 20% dari APBN dan APBD pada kenyataannya masih abu-abu. Masih banyak masyarakat yang kesulitan untuk membiayai pendidikan anaknya karena masih diberatkan oleh banyak pungutan-pungutan yang ditarik oleh sekolah. Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan sebanyak 67% bahwa ketiadaan biayalah yang memaksa mereka untuk putus sekolah. Lantas, dimanakah letak tanggung jawab pemerintah dalam hal ini?

Pemerintah seharusnya menjadi fasilitator yang benar-benar memfasilitasi pendidikan, baik ketersediaan maupun keterjangkauannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pembukaan UUD 1945 merumuskan sebuah konsep pencerdasan kehidupan bangsa yang dititipkan kepada seluruh rakyat, dan pemerintah menjadi tulang punggungnya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (4), juga telah jelas disebutkan bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan nasional minimal dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggaraan Pendidikan Nasional sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Idealnya, penyelenggaraan pendidikan nasional mengacu pada konstitusi, tetapi pada kenyataannya Negara telah “berselingkuh” dengan para pemodal yang berorientasi laba. Pendidikan tidak lagi merakyat, melainkan sudah menjadi barang mewah yang tidak terjangkau oleh kaum miskin. Pendidikan tidak lagi murni berorientasi mencerdaskan, melainkan juga menjadi ajang mengeruk keuntungan dan korupsi. Apakah pendidikan kita sudah kehilangan arah dan malah berperan dalam memiskinkan masyarakat?

No comments:

Post a Comment