Monday, December 27, 2010

Tanggungjawab Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana


Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
(Ketentuan Umum UU Penanggulangan Bencana)


Posisi Indonesia secara geografis memang sangat rawan akan bencana. Indonesia berada di antara dua patahan yang masih aktif dan bertumbukan yang menyebabkan rawan akan bencana gempa bumi, dimana gempa bumi ini memungkinkan terjadinya bencana tsunami dan tragedi Aceh telah menjadi bukti yang tak terbantahkan. Selain itu Indonesia memiliki rangkaian pegunungan berapi yang masih aktif sehingga angat beresiko terjadinya bencana gunung meletus. Menurut Undang-undang 24 Tahun 2007 Pasal 1 Nomor 1 bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Oleh karena itu sudah dipastikan setiap bencana merupakan kerugian bagi penduduk maupun pemerintah daerah setempat. Penduduk kehilangan harta benda, surat-surat berharga, dan tentunya dampak psikologis yang berbahaya bagi kelanjutan kehidupan mereka.

UU Penanggulangan Bencana yang disahkan pada 2007 jelas mencantumkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dan penanggulangan bencana dilakukan pada saat pra bencana, saat bencana dan pasca bencana.

Menurut pasal 6 UU Penanggulangan Bencana, tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Pasal tersebut merinci dengan jelas bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab untuk memulihkan kondisi dari dampak bencana dan tahap ini dilakukan dalam tahap pasca bencana atau periode setelah tanggap darurat.

Pascabencana merupakan momentum untuk mengembalikan kehidupan korban bencana seperti semula dan penyelenggaraannya dilakukan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.

Rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi pembangunan kembali prasarana dan sarana pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat, peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi pelayanan publik, dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Pada kasus bencana gunung Merapi yang terjadi beberapa waktu lalu, penanganan Pemerintah dalam tahap penanggulangan bencana dapat dinilai lambat dan kurang maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal, mulai dari belum masifnya bantuan untuk perbaikan rumah tinggal masyarakat, rendahnya nilai uang kompensasi kerusakan rumah yang ditawarkan oleh pemerintah pusat, belum terealisasinya janji pemerintah untuk membeli ternak warga dengan harga yang pantas, hingga pemulihan fungsi pelayanan publik untuk mengurusi dokumen berharga warga yang belum begitu diperhatikan.

Dalam hal perbaikan rumah warga yang rusak, pemerintah hanya memberikan kompensasi berupa sejumlah uang dalam jumlah yang tidak bisa dibilang cukup. Untuk rusak ringan pemerintah menganggarkan Rp. 1 juta, Rp. 1-5 juta untuk rusak sedang, dan Rp. 10 juta untuk rusak berat. Seperti yang umum diketahui, banyak sekali rumah yang mengalami kerusakan parah hingga rata dengan tanah. Kompensasi sebesar Rp. 10 juta dapat dinilai kurang relevan untuk kondisi seperti itu. Padahal harusnya pemerintah bisa mengambil tindakan konkrit lain yang lebih efektif seperti membuat pemukiman sederhana yang layak bagi warga setempat, terutama yang rumahnya telah rata dengan tanah dibanding memberikan kompensasi sejumlah uang yang jumlahnya tidak mencukupi untuk membangun sebuah rumah karena pemukiman adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh warga untuk mulai menata hidupnya kembali pasca terjadinya bencana.

Sedangkan dalam hal pembelian ternak warga yang diakui oleh menteri pertanian tidak akan cukup apabila dibayar dengan APBN juga harus disegerakan mengingat warga di sekitar lereng gunung Merapi adalah warga yang hidup dari pertanian dan tentunya ternak adalah hal yang sangat fundamental dalam memulai kembali kegiatan pertanian mereka. Pemerintah seharusnya telah mulai mendata mengenai ternak-ternak yang dimiliki warga dan menmbelinya dengan harga yang pantas sesuai janji yang telah diberikan.

Hal lain yang mengalami proses cukup lambat adalah pemulihan fungsi pelayanan publik. Dokumen berharga seperti surat identitas tentunya merupakan hal yang sangat penting. Dan banyak diantara korban gunung merapi yang kehilangan identitasnya ataupun dokumen berharga lainnya dalam bencana. Dan seperti yang diketahui tidak dimilikinya KTP oleh seseorang akan mempersulit pengurusan segala sesuatu. Selain itu dokumen hukum lainnya seperti Akta Kelahiran, Sertifikat Tanah, Surat Nikah, Surat Keterangan Miskin, Kartu Keluarga, Ijazah dan lain-lain yang diurus oleh kantor yang berbeda-beda pun ketika terjadi bencana bagaimana nasib warga yang kehilangan dokumen miliknya. Regulasi di tingkat pusat tidak memberikan kejelasan mengenai siapa yang berwenang memulai tindakan dalam pemulihan fungsi pelayanan publik. Hal ini mengakibatkan pemda bergerak lambat dalam mendelegasikan tugas ini kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (misal: kecamatan). Tanpa kejelasan regulasi maka pendanaan akan kacau, sumber dana untuk mengganti dokumen warga yang hilang tidak jelas.

Dari ketiga aspek diatas dapat dilihat bahwa pemerintah belum melaksanakan tanggungjawabnya dengan maksimal untuk proses penanggulangan pasca bencana, padahal seharusnya hal tersebut menjadi tugas pemerintah yang diatur dalam undang-undang. Ditambah pemerintah telah menetapkan bencana gunung merapi sebagai bencana nasional (yang sesungguhnya salah karena bencana merapi merupakan bencana lokal menurut undang-undang jika dilihat dari skala bencana), sehingga hal tersebut memperkuat tanggungjawab pemerintah dalam penanggulangan bencana merapi. Dan pemerintah harus bekerjasama dengan pemda untuk segera melakukan pemulihan terhadap berbagai aspek kehidupan warga yang terkena bencana.

No comments:

Post a Comment