
Kriminologi merupakan sebuah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan
oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah
berasal dari kata “crimen” yang
berarti kejahatan atau penjahat dan “logos”
yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat.[1]
Wolfgang, Savitz, dan Johnston dalam
The Sociology of Crime and Deliquency memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan
yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan
menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman,
pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku
kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Jadi obyek studi
kriminologi melingkupi:
- Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan
- Pelaku kejahatan dan
- Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya[2]
Melihat
dari pengertian dan obyek dari kriminologi maka dapat dilihat bahwa kriminologi
memiliki hubungan yang sangat erat dengan hukum pidana. Jika hukum pidana
menurut Hezewinkel Suringa mengandung larangan dan ancaman pidana (jus poenale) serta hak negara untuk
menuntut, menjatuhkan,dan melaksanakan pidana (jus puniendi). Maka disisi lain kriminologi dapat digunakan untuk
mempelajari siapa dan kenapa seseorang melakukan perbuatan pidana sehingga
dapat dikenai ancaman pidana.
Salah
satu teori yang ada dalam kriminologi diantaranya adalah Differential
Association Theory yang dikemukakan oleh Sutherland. Teori ini sendiri
mendasarkan pada konsep Differential Social organization yang mengemukakan
bahwa kelompok-kelompok sosial tertata secara berbeda, beberapa terorganisasi
dalam mendukung aktivitas kriminal dan yang lain terorganisasi melawan
aktivitas kriminal. Menurut Sutherland perilaku jahat itu dipelajari melalui
pergaulan yang dekat dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang
merupakan proses differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap
orang mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok yang
terorganisasi dalam melakukan aktivitas kriminal atau dengan kelompok yang
melawan aktivitas kriminal. Dan dalam
kontak yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses belajar yang meliputi teknik
kejahatan, motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi melakukan suatu kejahatan.
Ada sembilan dalil yang merupakan dasar dari differential
association, yaitu :
1)
Criminal behavior is learned
2) Criminal behavior is learned in Interaction with other person in a proccess
of communication
3)
The principal part of the learning of criminal behavior occurs within
intimate personal groups
4)
When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of
committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very
simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and
attitudes
5) The specific direction of motives and drives is learned from definitions of
the legal codes as favorable or unfavorable
6)
A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to
violation of law over definitions unfavorble to violation of law
7)
Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and
intencity
8) The process of learning criminal behavior by association with criminal and
anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any
other learning
9) While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is
not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is
an expression of the same needs and values[3]
Tindak pidana terorisme menurut pasal 6 Undang-Undang No.
15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan
hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Terorisme sendiri telah menjadi masalah
serius bagi masyarakat Indonesia sejak terjadinya Bom Bali pertama pada
November 2002. Dengan makin meluasnya jaringan operasi yang serius, radikalisme,
dan militansi hingga hari ini terorisme masih menjadi momok. Dalam kaitannya
dengan Differential association, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang
pelaku tindak pidana terorisme melewati proses belajar yang membentuk ideologi
dan menjadikannya sebuah rasionalisasi dalam melakukan terorisme. Seringkali
ideologisasi tersebut terjadi dalam proses pemasyarakatan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, sehingga Lapas menjadi School
of Radicalism. Ketika kita berbicara mengenai tindak pidana terorisme maka
kita akan berbicara mengenai sebuah tindak pidana dengan karakteristik yang
berbeda dimana perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kepahaman mengenai
tindak pidana yang dilakukan serta mengandung adanya ideologi yang menyimpang.
Oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang berbeda bagi narapidana terorisme
demi tercapainya salah satu tujuan pemidanaan yaitu memasyarakatkan narapidana
sehingga dapat kembali diterima oleh masyarakat dan tidak mengulangi kembali
perbuatannya (residivis).
Sebelum tahun 2008 di LP Cipinang ada hak-hak istimewa
yang diberikan kepada para narapidana terorisme diantaranya kemudahan mendapatkan
kunjungan, kebebasan
untuk mendapatkan makanan,
bahan bacaan berupa
kitab-kitab dan buku-buku bertema jihad,
serta kesempatan untuk memiliki handphone bagi hampir
semua narapidana teroris. Bahkan narapidana
terorisme diberikan kesempatan untuk membentuk semacam pesantren di lingkungan
masjid di dalam LP dimana Abu Tholut, seorang residivis yang terkenal karena
berkali-kali melakukan pengulangan Tindak Pidana terorisme pernah menjadi
kepala sekolahnya. Dan disinilah proses Differential Association terjadi.
Pesantren ini pernah memiliki murid sebanyak 300 orang narapidana biasa
(non-terorisme). Tanpa disadari lapas menjadi sebuah lahan recruitment oleh
jaringan teroris ketika itu. Dan hal ini sesuai dengan dalil dalam teori
differential association tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi
dengan orang lain melalui proses komunikasi, jadi tidak serta merta seseorang
yang hidup dalam lingkungan kriminal menjadi kriminal tetapi juga dipelajari
bersama orang lain dalam komunikasi verbal maupun non verbal.
Selain itu, tingkah laku kriminal biasa dipelajari dalam
kelompok orang-orang dekat seperti keluarga ataupun teman dekat, ddan diketahui
bersama banyak dari jaringan terorisme yang terbentuk dari lingkaran keluarga
ataupun teman dekat, dimana komunikasi yang intensif berperan besar dalam
ideologisasi para pelaku tindak pidana terorisme. Albert Reiss dan A. Lewis
menemukan bahwa kesempatan melakukan perbuatan delinquent tergantung pada
apakah temannya melakukan hal yang sama.
Tingkat differential association sendiri dipengaruhi oleh
intensitas kontak, lamanya, dan makna dari proses tersebut kepada suatu
individu. Dalam konteks school of radicalism, seseorang dalam keadaan
terkungkung dan kurang informasi mendapatkan pencerahan dari seseorang yang
dilihat lebih mengerti kemudian melakukan komunikasi yang intens dan lama lebih
mudah menerima ideologi yang menyimpang tersebut. Itulah kenapa lapas dapat
dikatakan turut menyuburkan kaderisasi jaringan terorisme.
Pelajaran yang didapat tentunya bukan hanya soal teknik melakukan tindak pidana tetapi juga rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap dan di point inilah ideologisasi terjadi. Sehingga berbeda dengan tindak pidana yg lain, untuk memasyarakatkan kembali pelakunya perlu adanya proses de-ideologisasi. Dimana de-ideologisasi tersebut dilakukan untuk membersihkan rasionalisasi, motif, dorongan, serta sikap yang membentuk ideologi si pelaku tindak pidana terorisme.
picture source : http://www.tribunnews.com/2012/07/13/naim-pengumpul-dana-jaringan-teroris-di-indonesia
[1] Topo
Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008, Kriminologi, grafindo,
jakarta Halaman 7
[2] Topo
Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008, Kriminologi, grafindo,
jakarta Halaman 12
[3] Topo Santoso, S.H., M.H dan Eva Achjani Zulfa, S.H, 2008,
Kriminologi, grafindo, jakarta Halaman 75